Perkembangan Pers Pada Masa Orde Baru - Pada awal kepimpinan Orde Baru menyatakan bahwa akan membuang jauh praktik demokrasi terpimpin diganti dengan demokrasi pancasila. Hal ini mendapat sambutan positif dari semua tokoh dan kalangan, sehingga lahirlah istilah pers Pancasila.
Menurut sidang pleno ke-25 Dewan Pers bahwa pers Pancasila adalah pers Indonesia pada arti pers yang orientasi, perilaku, & tingkah lakunya didasarkan dalam nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Hakikat pers Pancasila merupakan pers yg sehat, pers yg bebas & bertanggung jawab dalam menjalankan kegunaannya sebagai penyebar liputan yg benar & objektif, penyalur aspirasi masyarakat, & kontrol sosial yg konstrukti.
Namun, pada kenyataannya hubungan baik tersebut hanya berlangsung lebih kurang delapan tahun. Terjadinya peristiwa Malari (Lima Belas Januari 1974) menjadi awal titik balik kebebasan pers Indonesia.
Pada masa itu banyak sekali kalangan, misalnya cendekiawan, mahasiswa, politikus, dan pers telah poly melakukan kritik terhadap praktik pemerinahan yg cenderung korup. Tidak hanya itu, protes jua dilakukan buat mengritisi kebijakan pembangunan pemeritah yang dirasa akan makin menaikkan ketergantungan Indonesia terhadap negara asing.
Menjelang siding umum MPR 1978, tujuh surat keterangan terkemuka pada Jakarta termasuk surat berita Kompas yang populer menggunakan penerbitan yang berkualitas diberangus buat beberapa saat lamanya dan baru dizinkan terbit balik sehabis pemimpin redaksi surat informasi menandatangani surat pernyataan maaf.
Pada lepas 8 Desember 1984 di Solo, muncul kata pers bebas yg bertanggung jawab. Tetapi, pers tetap seringkali diberedel dengan alasan meresahkan masyarakat, menyinggung SARA, misalnya Prioritas (1987), Monitor (1990), Tempo, Editor, Detik (1994), dan Simponi (1994).
Pada tahun 1982 dikeluarkan UU No. 21 tahun 1982 yg adalah penyempurnaan dari UU No, 2 Tahun 1966. Perhimpunan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) dimasukkan pada keluarga besar pers Indonesia beserta PWI, SGP, dan SPS.
Permenpen No. 10 tahun 1984 dimuntahkan buat mengatur tentang SIUPP. Sejak dimuntahkan PP No. 20 tahun 1994, membuka peluang modal asing masuk ke pers, sehingga terjadi persaingan ketat pers secara bisnis. Pers mulai terjebak antara idealism politik & pragmatism ekonomi.
Profesor Oemar Seno Adji, SH, dalam bukunya Mass Media & Hukum, mendeskripsikan kebebasan pers pada alam demokrasi Pancasila menggunakan ciri menjadi berikut,
- a. Kemerdekaan pers harus diartikan sebagai kemerdekaan untuk mempunyai dan menyatakan pendapat dan bukan sebagai kemerdekaan untuk memperoleh alat-alat dari expression tadi, seperti dikatakan oleh negara-negar sosialis.
- b. Tidak mengandung lembaga sensor preventif.
- c. Kebebasan ini bukanlah tidak terbatas, tidak mutlak, dan bukanlah tidak bersyarat sifatnya.
- d. Ia merupakan suatu kebebasan dalam lingkungan batas-batas tertentu, dan syarat-syarat limitative dan demokratis, seperti diakui oleh hokum internasional dan ilmu hukum.
- e. Kemerdekaan pers ini dibimbing oleh rasa tanggung jawab dan membawa kewajiban-kewajiban yang untuk pers sendiri disalurkan melalui beroepsthiek mereka.
- f. Ia merupakan kemerdekaan yang disesuaikan dengan tugas pers sebagai kritik adalah negatif karakternya, melainkan pula ia positif sifatnya, apabila ia menyampaikan “wettige-initiativen” dari pemerintah.
- g. Aspek positif di atas tidak mengandung dan tidak membenarkan suatu konklusi, bahwa posisinya adalah subordinated terhadap penguasa politik.
- h. Adalah suatu kenyataan bahwa aspek positif ini jarang ditemukan oleh kaum libertarian sebagai suatu unsur esensial dalam persoalan mass-communication.
- i. Pernyataan bahwa pers itu tidak subordinated kepada penguasa politik berarti bahwa konsep authoritarian tidak acceptable bagi Pers Indonesia.
- j. Konsentrasi perusahaan-perusahaan pers bentukan dari chains yang bisa merupakan ekspresi dari kapitalisme yang ongebreideld, merupakan suatu hambatan yang daadwerkelijk dan ekonomis terhadap pelaksanaan ide kemerdekaan pers. Pemulihan suatu bentuk perusahaan, entah dalam bentuk co-partnership atau co-operative ataupun dalam bentuk lain yang tidak memunginkan timbulnya konsentrasi dari perusahaan pers dalam satu atau beberapa tangan saja, adalah perlu.
- k. Kebebasan pers dalam lingkungan batas limitative dan demokratis, dengan menolak tindakan preventif adalah lazim dalam negara demokrasi dan karena itu tidak bertentangan dengan ide pers mereka.
- l. Konsentrasi perusahaan-perusahaan yang membahayakan performance dari pers excessive, kebebasan pers yang dirasakan berkelebihan dan seolah-olah memberikan hak kepada pers untuk misalnya berbohong (the right to lie), mengotorkan nama orang (the right to vilify), the right to invade privacy, the right to distort, dan lain-lain, dapat dihadapi dengan rasa tanggung jawab dari pers sendiri. Ia harus memberikan ilustrasi tentang suatu pers yang bebas, akan tetapi bertanggung jawab (a free and responsible press).
Demikianlah artikel kali ini mengenai Perkembangan Pers Pada Masa Orde Baru. Semoga bermanfaat bagi Anda. Sekian dan terimakasih.
Sumber: Modul KEWARNEGARAAN SMK/MAK Kelas XII
No comments:
Post a Comment