Warga desa Sendangkandayakan atau Kabayakan
sangat beruntung mempunyai Ibu Lurah Rara Winihan,
yang sanggup membesarkan hati warganya disaat ketakutan menghantui setiap hati.
(karya : Herjaka HS 2010)
Tidak misalnya umumnya, pagi itu dusun kabayakan kelihatan masih sepi, khususnya pada tempat tinggal kepala desa Kabayakan. Rara Winihan dan Lurah Sagotra belum bangun. Hanya terdapat dua orang sekabat atau pembantu Lurah yg sedang membersihkan meja kursi di pendapa. Baru setelah tabuh sepuluh, terdapat satu, dua orang yang mulai berdatangan untuk bertemu dengan Lurah Sagotra.
Sementara itu bepergian Bima pada mencari dua bungkus nasi buat adiknya Sadewa dan Nakula bertemu dengan para pengungsi. Dari para pengungsi itulah Bima menerima berita bahwa wilayah ini masih dibawah kerajaan Manahilan atau kerajaan Ekacakra. Yang bertahta adalah seseorang raja bertulang akbar & bergigi tajam, bernama Prabu Dawaka atau Prabu Baka. Pada setiap bulan sekali Prabu Baka meminta kepada rakyatnya untuk menghidangkan sajian istimewa berupa ingkung manusia (daging manusia utuh) Tentu saja hal tadi membuat rakyatnya hidup pada kecemasan & ketakutan. Banyak diantara mereka yg secara membisu-membisu mengungsi ke negara Pancala buat meminta perlindungan. Suasana di Ekacakra semakin sepi. Di sana-sini banyak dijumpai rumah tak berpenghuni. Mengetahui keadaan yang seperti itu, Prabu Baka berongsang. Ia menyerukan agar semua penduduk tidak boleh meninggalkan negara Manahilan. Bagi yang melanggar perintah tadi akibatnya akan lebih mengerikan.
Sejak diberlakukan anggaran itu suasana tambah mencekam. Para masyarakat semakin ketakutan. Mau meninggalkan Ekacakra takut apabila ketahuan oleh para perajurit. Tetapi bila tetap tinggal pada negara Ekacakra juga takut karena akan mendapat giliran korban keganasan raja. Pantas saja Desa-desa pada semua pelosok negeri bagaikan desa tewas, yg tidak mengungsi lebih memilih bersembunyi.
Para pengungsi yang ketemu Bima disore itu merupakan mereka yang merogoh langkah laba -untungan. Dari dalam tinggal di Ekacakra hidup dalam kecemasan terus-menerus, lebih baik segera meninggalkan negeri ini. Mereka mencari celah-celah yang kemungkinan akbar bisa lolos berdasarkan penjagaan perajurit.
Namun ternyata para pengungsi yg ketemu Bima tadi belum beruntung. Walaupun sudah memperhitungkan saat dan loka dengan cermat buat bisa lolos berdasarkan pantauan perajurit, ternyata meleset. Ditikungan desa para pengungsi dihadang oleh beberapa perajurit. Walaupun jumlah mereka nir lebih poly daripara pengungsi, mereka membawa senja lengkap yang siap merajam atau bila memungkinkan menangkapnya hidup-hayati buat dipersembahkan pada Prabu Dwaka
Melihat dan merasakan penindasan & penderitaan sesama, naluri Bima tergugah. Sebelum para perajurit menyerang para pegungsi yang ketakutan. Bima lebih dahulu menerjang perajurit yang homogen-rata berbadan besar dan bergigi tajam. Para perajurit sangat terkejut menghadapi keberanian Bima. Belum pernah warga pada negeri ini memiliki keberanian seperti Bima. Terjangan Bima yg menyeruak diantara para pengungsi membuyarkan para perajurit. Beberapa pengungsi yang bernyali menyaksikan sepak terjang Bima dengan penuh takjub. Sedangkan pengungsi yg lain lari bersembunyi. Bima tidak membutuhkan poly saat buat melumpuhkan para perajurit Ekacakra. Tidak ada satu pun yang bisa mengimbangi kesaktian Bima. Belum hingga lecet kulitnya, merela lari ketakutan.
Para pengungsi yang menyaksikan kesaktian Bima bersorak gembira. Sementara pengungsi yang lain keluar menurut persembunyiannya. Ucapan terimakasih terlontar tanpa disuruh berdasarkan ekspresi mereka. Wajahnya yg penuh dengan garis-garis ketakutan mulai terurai. Hampir bersamaan, para pengungsi yg sudah berkumpul itu menghaturkan sembah kepada Bima.
?Ampun Raden, hamba seluruh ini orang bodoh, sebagai akibatnya nir memahami bahwa dalam hari ini, desa kami sudah kedatangan tamu istimewa yg akan mengentaskan kami dari rasa ketakutan yg berkepanjangan. Maafkan hamba Raden atas kesalahan kami. Bolehkan kami mengetahui siapa sesungguhnya Raden ini??
?Namaku Bima. Aku adalah anak Prabu Pandudewanata yg nomor dua.?
?Ooo Raden Bima? Pantas saja memiliki kesaktian yang luar biasa. Sekali lagi maafkan hamba yang nir menghormat pada awal berjumpa. Sungguh kami tidak memahami sebelumnya bahwa Raden adalah salah satu pewaris tahta Hastinapura.?
?Sudahlah kami maafkan semuanya, namun jangan menghormatiku secara berlebihan seperti ini. Aku sampai ditempat ini sesungguhnya mencari 2 kemasan nasi buat saudara termuda aku yang lelaparan.?
Dengan bahagia hati para pengungsi tersebut berebut menawarkan sebagian bekalnya untuk adik Bima yang kelaparan.
?Dimanakah saudara termuda Raden Bima berada??
?Diujung desa yang berbatasan menggunakan Gunung??
?Ooo pada Giripurwa. Apakah di tempat tinggal Resi Hijrapa??
?Aku tidak tahu. Namun tempat tinggal itu kosong nir berpenghuni.?
Setelah menerima dua bungkus nasi, Bima segera meninggalkan para pengungsi yg mengagumi Bima tak berkesudahan.
Setelah Bima jauh meninggalkannya, para pengungsi tadi balik menyadari bahwa jiwa mereka belum bebas sepenuhnya menurut ancaman. Ketakutan mulai merambati lagi. Dikhawatirkan para perajurit yang dikalahkan Bima akan mengejar mereka pada jumlah yg lebih besar . Maka lebih baik mereka tidak meneruskan perjalanannya mengungsi ke Negara Pancala, namun mengikuti Bima menuju ke Giripurwa.
Siang itu, pendapa Kabayakan mulai menggeliat. Rara Winihan mendahului suaminya, menemui para warga yg butuh pelayanannya. Para rakyat yg datang pada intinya menyatakan keprihatinannya bahwa pada minggu ini, desa Kabayakan mendapat giliran buat menyediakan korban bagi Prabu Dwaka. Mendapat pengaduan itu Rara Winihan tidak menerangkan kecemasan. Wajahnya berseri, senyumnya tidak pernah meninggalkan bibirnya yg tipis merah.
?Para bebahu Desa yg saya banggakan. Jangan risi akan hal itu. Prabu Baka boleh saja mengirimkan hulu-balangnya ke desa kita untuk merogoh korban insan, tetapi kita pula punya hak buat nir menyediakan baginya.?
Rara Winihan memberikan pengharapan, bahwa nir usang lagi desa Kabayakan akan terbebas berdasarkan rasa cemas takut. Bahkan Desa ini akan menerima hadiah yang begitu akbar.
Tanda akan datangnya pemberian akbar itu pada sampaikan oleh Hyang Widi Wasa lewat mimpinya. Pada dini hari tadi, Rara Winihan bermimpi sedang melakukan perjalanan ke dusun-dusun, beserta Ki Lurah Sagotra, Para Bebahu, & beberapa orang yg dituakan. Sesampainya pada setiap dusun yg mereka kunjungi, para rakyat mengelu-elukan rombongan Lurah Sagotra. Suasana kunjungan tadi seperti sebuah bepergian pesiar. Diakhir perjalanannya, rombongan Lurah Sagotra memasuki jalur sungai. Keanehan terjadi, mereka berjalan diatas sungai & kakinya tidak menyentuh air.
Kunthi menghibur Nakula dan Sadewa yg kelaparan (karya Herjaka HS)
Mendengar penuturan mimpi Rara Winihan, para bebahu desa Kabayakan tersebut mulai muncul keberaniannya. Mereka putusan bulat buat tidak menyediakan korban bagi Prabu Baka. Rara Winihan menyarankan agar galat satu bebahu desa menghadap Resi Hijrapa pada padepokan Giripurwa, buat memohon agar Resi Hijrapa berani menolak korban buat Prabu Baka. Dua orang bebahu desa segera berangkat menuju ke rumah Resi Hijrapa.
Kembali pada Kunthi yg sedang menunggui anaknya Nakula dan Sadewa yg kelaparan. Hati Kunthi teriris-iris melihat Nakula dan Sadewa menangis kelaparan. Hingga terucap dalam bibirnya yg pecah & kering. Apabila pun aku wajib mengiris dagingku demi buat Nakula & Sadewa, saya akan lakukan. Kunthi semakin gelisah menghadapi tangis Nakula dan Sadewa yg semakin serak. Walupun Kunthi telah mengutus Bima dan Arjuna buat mencari makan bagi si kembar, Kunthi masih berupaya buat mendapatkan kuliner secepatnya, supaya tangis si kembar segera berhenti. Pada waktu mengbibur si Kembar, Kunthi mendengar terdapat suara di dalam rumah yang sebelumnya dikira tidak berpenghuni.
?Puntadewa ke sinilah, rupanya ada orang sengaja bersembunyi pada pada rumah ini. Coba dengarlah baik-baik. Tidak salahkah pendengaranku bahwa terdapat beberapa orang sedang berbicara? Tolong Punta temui mereka, siapa memahami terdapat makanan yang dapat dibagikan buat Nakula dan Sadewa. Puntadewa bergegas pulang menemui orang yang berdialog pada rumah dalam. Kunthi tinggal sendirian menunggui anak kembarnya yang merengek menyedihkan. Tak lama lalu Puntadewa datang dengan membawa sedikit kuliner & minuman. Makanan tersebut sedikit buat ukuran orang dewasa, juga belum mencukupi buat berukuran anak-anak. Tetapi kuliner yang didapat menurut pemilik tempat tinggal tersebut benar-benar dapat menolong buat sementara, sambil menunggu bisnis Bima & Arjuna.
Tak beberapa usang kuliner yang sedikit itu segera habis. Nakula & Sadewa masih lapar, tetapi telah nir menangis lagi. Kunthi sangat lega, ingin mengucapkan terimakasih kepada tuan rumah yang telah menyambung nyawa anak kembarnya. Dengan membawa Nakula Sadewa & diiringi Puntadewa, Kunthi menemui si pemilik tempat tinggal yg bernama Resi Hijrapa.
?Dengan apakah kami harus membalas? Apabila nir sekarang, nanti niscaya aku balas kebaikan Sang Resi. Lantaran bila kebaikan itu nir saya balas, saya seperti seorang pepriman yang kerjanya ke sana-ke mari hanya untuk minta-minta.
Resi Hijrapa tersenyum pahit mendengar pernyataan Kunthi. Di jaman seperti ini, masih adakah seorang yang merasa harus buat membalas budi? Tentu saja semua orang tua bisa berbicara misalnya apa yg dikatakan sang ibu 1/2 baya tersebut, atas nama kebaikan budi, manakala anaknya dibebaskan menurut bahaya kelaparan, kesakitan atau pun kematian. Tetapi apabila bahaya kematian masih mengacam anaknya, masihkah orang tua itu mampu berbicara mengenai kebaikan budi? Jikapun pernyataan ibu setengah baya tersebut benar-benar-benar-benar, nir sekedar basa-basi, apakah beliau bisa gantian membebaskan anaknya dari bahaya kematian? Jika dapat, tentunya gantian saya yang mebicarakan mengenai kebaikan budi.
Resi Hijrapa merupakan pengasuh sebuah Padepokan yg berada di daerah Giripurwa. Ia hidup bersama isteri dan 3 anaknya. Sebelumnya, rumah akbar ini menjadi pusat kegiatan cantrik-cantriknya. Tetapi sayang, kini rumah besar tadi menjadi nir terurus. Tidak ada lagi cantrik yg tiba. Tinggal Resi Hijrapa dan keluarga yang menunggui tempat tinggal itu. Itu pun bersembunyi di ruang paling pada, takut apabila diketahui sang perajurit Ekacakra.
Kelemahan Resi Hijrapa itulah yg menyebabkan para cantrik-cantriknya nir lagi berguru pada Resi Hijrapa. Mereka kecewa kepada gurunya yg takut membela para korban kekejaman Prabu Baka. Bahkan waktu Resi Hijrapa dalam gilirannya diharuskan mengorbankan salah satu anaknya untuk Prabu Baka, Resi Hijrapa nir berani menolak. Maka kecuali keluarganya, hampir semua warga giripurwa termasuk cantrik-cantriknya mengungsi ke negara Pancalradya
Oleh karena itu kedatangan enam orang asing di rumahnya menciptakan hati Resi Hijrapa berkurang ketakuatannya. Mereka buat sementara saat boleh menempati di tempat tinggal depan. Kunthi mengucap terimakasih atas kebaikannnya.
Menjelang sore hari Arjuna tiba dengan membawa 2 kemasan nasi. Kunthi tidak berkenan dengan cerita Harjuna. Dua kemasan nasi ditolaknya, lantaran 2 kemasan nasi tersebut didapatkannya dengan cara meminta belas kasihan dari seorang? Aku tidak mau darah anakku akan mengalir darah seorang pepriman yang pekerjaannya meminta-minta. Harjuna diam, dia meletakan 2 kemasan nasi tadi di depan kaki Ibu Kunthi. Sebelum Kunthi mengambil tindakan mau diapakan nasi hasil menurut minta-minta tadi, Bima tiba dengan membawa 2 kemasan nasi. Kepada Ibu Kunthi, Bima bercerita mengenai para pengungsi yg memberikan sebagian menurut bekalnya karena sudah ditolong dan diselamatkan. Kunthi mendapat dua bungkus nasi berdasarkan tangan Bimasena.
Sementara itu hampir bersamaan Nakula & Sadewa yang masih merasa lapar segera mengambil bungkusan nasi dan kemudian memakannya. Nakula merogoh bungkusan nasi yg dibawa Arjuna sedangkan Sadewa memakan nasi yang dibawa Bimasena. Kunthi membiarkannya nasi yg dibawa Arjuna dimakan sang Nakula. Tetapi hal itu merupakan hutang budi kepada orang yang memberi. Dan tentunya beliau akan beruasaha membalasnya misalnya yg akan dilakukan pada Resi Hijrapa
Resi Hijrapa bertanya kepada Raden Rawan, mengapa dirinya bisa
sebagai korban untuk Prabu Dwaka (karya Herjaka HS 2010)
Malam itu bulan menggantung sepenggal. Wilayah Giripurwa yg hampir separonya terdiri berdasarkan wilayah pegunungan, meniupkan hawa dingin yg berselimut kabut. Bunyi kentongan dari beberapa rumah masyarakat yang masih berpenghuni, bersusul bersautan dengan irama doro-muluk. Mulai menurut suara yg paling jauh hinngga bunyi yg paling dekat.
Irama doromuluk merupakan irama memukul kentongan mulai dari pukulan lembut dan pelan menuju ke pukulan keras dan cepat. Setelah pukulan tadi mencapai taraf suara yang paling keras dan tingkat kecepatan yang paling cepat, irama dikembalikan lagi menuju ke irama semula, yaitu lembut & pelan. Apabila dirasakan, bunyi kentongan doro-muluk ini seperti sebuah irama kidung yang dibawa angin malam, menurut nir jelas sebagai semakin jelas & pulang lagi sebagai nir kentara & kemudian hilang. Kentongan irama doro-muluk ini umumnya sebagai pertanda bahwa suasana di sebuah wilayah loka kentongan itu dipukul, pada keadaan aman. Sehingga irama doro-muluk memberi suasana batin tentram.
Tetapi nir buat malam itu. Bunyi doro-muluk yg pada bunyikan masyarakat yg masih tersisa, nir buat menggambarkan bunyi hati yang kondusif dan tenteram, melainkan adalah sebuah jeritan permohonan buat dibebaskan berdasarkan rasa takut & cemas.
Ketakutan & kecemasan dirasakan sang seluruh masyarakat Ekacakra, termasuk famili Resi Hijrapa. Malam itu, famili Resi Hijrapa, yg terdiri berdasarkan isteri & ketiga anaknya belum bisa terlelap. Segunung rasa takut & cemas menindih hati mereka. Hal tersebut berkaitan dengan keputusan raja yang menetapkan bahwa galat satu dari 3 remaja anak Resi Hijrapa dikorbankan buat santapan raja.
Menurut tradisi negara Ekacakra, hari yang dipilih buat mengadakan korban bakaran secara akbar-besaran adalah hari Anggara Jenar atau Selasa Paing, yang jatuh pada bulan pertama pada setiap tahunnya. Dikatakan besar lantaran sesaji yang dikorbankan paling lengkap, termasuk satu antara lain adalah ?Ingkung? Insan.
Lima hari lagi waktunya telah tiba, Resi Hijrapa belum memastikan siapa diantara anaknya yg dipilih buat dikorbankan. Lantaran ketidak berdayaan buat menolak perintah raja dan pula ketidak teganya mengorbankan galat satu anaknya, ketenangan kewibawaan yang umumnya sebagai ciri spesial bagi para resi, tak sedikitpun tersisa. Resi Hijrapa gusar pikirannya dan bingung hatinya. Walaupun dalam hati ia memiliki kecenderungan buat menentukan, namun ia nir berani menyatakan dihadapan anak-anaknya. Oleh lantaran kesulitannya, Resi Hijrapa membiarkan isteri dan ke tiga anaknya mengalami kecemasan yang berkepanjangan.
Dalam situasi yg tidak berpengharapan itulah, tiba-tiba Raden Rawan anak angka 2 menyatakan kesanggupannya buat dijadikan korban bagi Prabu Dwaka. Mendengar kesanggupan Raden Rawan Resi Hijrapa, Nyai Resi & 2 saudaranya terharu. Apabila mau amanah, menggunakan pernyataan kesanggupan Raden Rawan tadi, Resi Hijrapa dibebaskan menurut ketidakberdayaannya buat memilih galat satu diantara ketiga anaknya. Tetapi bagaimanapun pula sebagai orang tua tentunya hatinya teriris, tatkala menyerahkan anaknya menjadi pangewan-ewan raja..
Dimata orang tua & keluarga, raden Rawan tidak memiliki keistimewaan. Selain tidak relatif tampan jika dibandingkan dengan saudara tertua dan adiknya Raden Rawan merupakan anak yang paling pendiam dan sederhana. Namun dibalik itu semua sesekali saat, terutama dalam saat-sat yg sulit, timbul eksklusif yg mengejutkan dan bahkan mecengangkan, yg tidak terduga sebelumnya
Seperti yang terjadi dalam waktu itu, malam dingin beku, & embunpun mulai turun, datang-datang dihanggatkan oleh keberanian Raden Rawan buat menghadapi Prabu Dwaka & siap mangkat menjadi ?Tawur agung.? Resi Hijrapa ingin memahami apa yang mendasari keberanian anaknya tadi. Dengan amanah raden Rawan mengatakan dihadapan Bapak, mak , saudara tertua serta adiknya.
?Bapak dan Ibu, maafkan anakmu ini, apabila pernyataanku menyakitkan hati Bapak dan Ibu. Aku berani menghadapi Prabu Dwaka dan siap tewas menjadi santapannya, kare pada keluarga ini saya merupakan anak yg paling tidak berarti. Menurut yang aku rasakan, bapak sangat menyayangi kakaku & Ibu sangat mencintai adikku. Sehingga bila aku yang dikorbankan keluarga ini akan segera lupa kesedihannya, lupa akan aku & cepat pulih pulang?
?Rawaaaan! Ooh Rawaaaan!?
Hampir bersamaan Resi Hijrapa & Nyai Resi menubruk Rawan anaknya. Kedua orang tua itu menangis misalnya anak kecil. Pernyataan Rawan yg jujur dan polos itu.Sungguh telah menyadarkan bahwa selama ini tanpa disengaja beliau sudah melakukan ?Mban cindhe, mban siladan.? Mengemban anaknya yang satu dengan kain cindhe empuk dan halus, dan mengemban anak yang lainnya menggunakan siladan, sesetan bambu hitam yang tajam & melukai. Resi Hijrapa dan Nyai Resi sudah pilih kasih pada mendidik dan mendampingi ke tiga anaknya. Layaklah jika padepokan Giripurwa ambyar diterpa badai ketakutan, lantaran pengajar utamanya saja nir berhasil dalam mengatasi ketakutan & membagi keadilan pada dalam keluarga. Akibatnya para cantriknya pada pergi mengungsi dan sebagian menjadi bebahu desa pada Kalurahan Kabayakan.
?Tidaaaak! Tidak anakku, engkau nir boleh menjadi korban. Biar saya saja, orang tua ?Balilu? Yg tidak memahami malu. Orang tua bangka yg tak poly guna?. Resi Hijrapa mengakui segala kedunguannya. Tetapi Rawan tetap dalam niatnya, bahwa ia ingin menjadi tumbal negara dan keluarga.
Suara gaduh di ruang tengah itu cukup menggangu Kunthi beserta anaknya yang numpang pada emper bagian depan. Bahkan pendengaran Kunthi telah mendengar seluruh yg dibicarakan Keluarga Resi Hijrapa.
Bersamaan dengan bunyi kokok ayam, ketegangan keluarga Resi Hijrapa mulai reda. Mau nir mau mereka wajib mengakui kebenaran Raden Rawan. Bahwa buat memperkecil bala famili, dirinyalah yg harus dikorbankan. Kecuali jika Resi Hijrapa berani dan tegas menentang keputusan Prabu Dwaka, dan berani mengatakan bahwa hal tersebut merupakan jahanam, aku tidak sudi buat melaksanakan. Huh!
Ketika fajar nampak merekah diufuk timur, & sinarnya mulai membagi terang & kehidupan bagi yg dursila, bagi yang baik dan bagi siapa saja tanpa kecuali, keluarga Resi Hijrapa justru baru mulai terlelap dalam tidur. Entah karena semalamnya belum tidur atau karena mereka enggan atau bahkan malu kepada Matahari yg saban hari memberikan teladan bagaimana seharusnya buat berlaku adil pada semua ciptaan.
Rara Winihan mengagumi Raden Rawan (karya Herjaka HS)
Pada hari-hari yang masih tersisa, sikap Resi & Nyai Hijrapa berubah 180 derajat terhadap Raden Rawan. Mereka ingin menebus kesalahan dalam mendampingi anak-anaknya. Raden Rawan sudah menyadarkan kedua orang tuanya, bahwasannya mereka telah pilih kasih pada memperlakukan ke 3 anaknya. Apabila sebelumnya Resi Hijrapa lebih memperhatikan dan menyayangi anak sulungnya, & Nyai Hijrapa lebih dekat dengan anak bungsunya, kini mereka lebih memperhatikan Raden Rawan anak yang lahir nomor 2.
Sesungguhnya Raden Rawan merasa risih atas perlakuan ke 2 orang tuanya yg berlebih. Tetapi ia nir akan mengungkapkannya pada ke 2 orang tuanya. Raden Rawan sendiri ingin mengisi hari-hari terakhirnya menggunakan kebaikan dan kedamaian. Beberapa hari sebelum ia siap mangkat buat menjadi korban keganasan Prabu Dwaka, beliau berpamitan kepada beberapa sahabat-temanya dan beberapa orang yg ia hormati, termasuk antara lain Lurah Sagotra dan Rara Winihan.
Di mata Raden Rawan, Rara Winihan merupakan pemimpin yg luar biasa. Ia sanggup memberikan semangat dan keberanian buat mengatasi ketertindasan dan memerangi ketidak adilan. Ia peduli terhadap warganya yg mengalami kesulitan. Beberapa hari yg lalu Rara Winihan mengutus dua bebahu desa menemui ayahnya, agar menolak menyediakan korban buat Prabu Dwaka. Tetapi ayahnya menolak usulan itu dengan halus. Ia tidak berani melawan Prabu Dwaka.
Keteladanan Rara Winihan itulah yg membuat Raden Rawan berani sebagai korban menggunakan dada membusung dan muka tengadah. Apalagi ia pula mempunyai keyakinannya bahwa keberanian dan ketulusan akan bisa menghancurkan kesewenang-wenangan.
?Aku bangga, engkau amanah & bagak. Terlebih engkau mempunyai keyakinan yang kuat bahwa kesewenang-wenangan akan hancur sang keberanian & ketulusan. Maju terus Rawan aku & para bebahu desa Kabayakan berada dibelakangmu.?
?Terimakasih Ibu Rara, saya mohon diri.?
Hari Anggara Jenar yg jatuh dalam bulan pertama pada setiap tahunnya, tinggal 3 hari lagi, Rara Winihan memutar otak, mencari taktik yang sempurna buat menghadapi Prabu Dwaka, dalam saat menghidangkan korban Raden Rawan.
Ketika malam menjelang, pada Kobongan Senthong tengah, Rara Winihan mendapat pencerahan. Tiba-tiba beliau teringat pada Harjuna yang memiliki jasa luar biasa dalam kehidupan tempat tinggal tangganya. Ia ingin menghadap Harjuna yang bersama keluarganya berada pada rumah Resi Hijrapa. Diajaknya Ki Lurah Sagotra buat menemui ibu dan saudara-saudara Harjuna.
Ki Lurah Sagotra & Rara Winihan ditemui oleh Ibunda Kunthi & para Putra.
?Dhuh Ibu Kunthi dan para putra, saya bersama suami, sebagai yg dituakan, mewakili semua warga desa Kabayakan membicarakan terimakasih. Kedatangan Ibu & para putra membawa berkat yg melimpah pada rakyat Desa Kabayakan dan Giripurwa. Saya beserta pasangan aku telah menerima berkah kerukunan itu melalui Raden Harjuna. Demikian pula beberapa masyarakat yang mengungsi pula sudah mendapatkan berkah pertolongan melalui Raden Bima. Aku meyakini bahwa Hyang Maha Agung sudah menuntun Ibunda Kunthi & para putra buat singgah pada wilayah ini & melimpahkan berkahnya bagi semua masyarakat.?
?Rara Winihan, saya & anak-anakku adalah orang orang yg numpang makan dan tidur pada tempat ini. Seharusnya kamilah yang mengucapkan terimakasih kepada seluruh warga Desa Kabayakan dan Giripurwa, lantaran mereka telah memberikan tempat dan makanan menggunakan ramah dan ikhlas. Aku secara pribadi mohon maaf karena telah bikin capek banyak orang.?
?Kerendahan hati seorang permaisuri Raja benar-benar menakjubkan. Dengan kerendahan hati seorang bunda sejati, aku berkeyakinan bahwa Ibunda Kunthi tidak tega melihat penderitaan putra-putrinya.?
?Benar katamu Rara Winihan, saya nir tega ketika melihat anakku kembar kelaparan. Tetapi apa yg dapat kulakukan? Aku hanyalah seorang wanita yg lemah dan miskin.?
?Bukankah ibu tinggal memerintahkan putra-putranya yang perkasa??
?Tetapi aku kecewa menggunakan Harjuna, ia hanya meminta-minta kuliner kepadamu?
?Ampun Ibunda Kunthi, 2 bungkus nasi bukanlah apa-apa apabila dibandingkan menggunakan berkah yg ditinggalkan. Oleh karena kehadiran Raden Harjuna, aku & suamiku boleh menikmati kebahagiaan suami isteri yang sudah kami tunggu hampir setahun lamanya.?
?Jika yang terjadi merupakan kebaikan, itu bukan karena Harjuna, melainkan lantaran kebaikan-Nya.?
?Iya Ibunda Kunthi, aku sependapat menggunakan Ibunda, termasuk jua berkat kebaikan-Nya yang akan dilimpahkan kepada seluruh masyarakat Kabayakan dan Giripurwa melalui putra-putra Ibunda yg perkasa. Baru beberapa hari Ibunda Kunthi & para putra tinggal di rumah ini, semakin banyak masyarakat yg datang di loka ini. Mereka yg telah mengetahui siapakah sesungguhnya Ibunda Kunthi & putra-putranya, ingin meminta proteksi atas kesewenang-wenangan Prabu Dwaka?
?Rara Winihan, saya sudah mendengarnya dari famili Resi Hijrapa yg menerima kewajiban mengorbankan salah satu anaknya kepada Prabu Dwaka. Aku nir tega saat Rawan akan dikorbankan. Aku telah membujuk anakku Bima buat menolong keluarga Hijrapa, menggunakan sebagai silih korban. Namun Bima belum menyanggupi, dengan alasan karena Resi Hijrapa tidak memintanya.?
Kecerdasan & kecekatan Rara Winihan sudah menangkap sebuah peluang yg sangat penting buat sebuah pengharapan yang membebaskan. Bermula berdasarkan rasa iba Ibunda Kunthi terhadap ketakutan & penderitaan famili Resi Hijrapa, khususnya Raden Rawan yg akan dikorbankan. Ibu Kunthi membujuk Bima supaya mau menolongnya. Bima mau menolongnya tetapi menggunakan kondisi, supaya Resi Hijrapa-lah yang meninginkan pertolongan tersebut. Ibunda Kunthi memakluminya kepada anak nomor 2 ini. Orangnya sederhana dan jujur, tentunya kalau tidak diminta, ia sungkan buat memberikan kemampuannya, karena hal tersebut akan menggiring pada kesombongan.
Rara Winihan tahu, tinggal satu hal lagi yg harus dikerjakan jika semuanya akan sebagai beres, yaitu Resi Hijrapa mau tiba memohon belaskasihan kepada Kunthi buat menolongnya.
?Ibunda Kunthi, apabila Resi Hijrapa memahami siapakah sesungguhnya orang-orang yang menumpang pada rumahnya, tentu tanpa diminta pun dia akan tergopoh-gopoh bersujud meminta proteksi. Tetapi lantaran waktu ini ia sedang mengalami tekanan yang luar biasa, Resi Hijrapa nir memperhatikan orang-orang disekitarnya. Baginya Ibunda Kunthi & para putra sebatas seorang penggembara yg numpang sementara pada rumahnya. Sehingga Resi Hijrapa beranggapan bahwa Ibunda Kunthi dan para putra nir bisa menolongnya. Oleh karenanya biarlah aku yang menghadap Resi Hijrapa buat mengungkapkan hal ini.?
Tanpa menunggu jawaban Ibunda Kunthi, Rara Winihan undur diri, dan segera menemu Resi Hijrapa.
Prabu Dwaka mendekati sesaji yang berupa manusia dibumbu bothok.
(karya Herjaka HS)
Rara Winihan tidak mau membuang ketika, sehabis mohon diri, Kunthi, Puntadewa, Bimasena, Harjuna & sikembar Nakula, Sadewa ditinggalkannya. Ia menemui Resi Hijrapa diruang dalam. Sebelum Rara Winihan masuk, Rawan mendahului keluar menyambut dengan wajah berseri-seri. Bocah remaja itu mengalami sukacita didatangi Ibu Lurah & Bapak Lurah yang sangat dia kagumi. Apalagi pada hari-hari terakhir sebelum beliau dikorbankan, kehadiran seseorang yang menjadi idola dapat sebagai kekuatan dan penghiburan.
?Bapa Resi, 2 bebahu desa yg kami utus menghadap Bapa Resi melaporkan bahwa Bapa Resi tetap akan mengorbankan Rawan, nir adakah jalan lain?
?Kami tidak menemukan jalan lain. Kecuali apabila kami menolak. Dan itu fatal akibatnya, seluruh keluargaku akan ditumpas.?
?Apakah nir meminta tolong?
?Orang yg mau menolong kami adalah beliau mau menjadi silih korban anakku. Saya nir percaya bahwa terdapat orang yg bersedia menolong kami menggunakan berani menggantikan anakku menjadi santapan Prabu Dwaka.?
?Bapa Resi, tahukah Bapa Resi siapakah sesungguhnya seseorang janda beserta ke lima anaknya yang numpang di rumah Bapa Resi??
?Ibu Lurah, hatiku gelap dan pikiranku kalut sehingga tidak pernah menanyakan siapakah mereka sesungguhnya.?
?Bapa Resi, merekalah yg akan sebagai yang kuasa penolong, jika Bapa mau menemuinya buat memohon pertolongan.?
?Ibu Lurah, siapakah sesungguhnya mereka??
?Mereka merupakan Ibu Kunthi dan Pandhawa Lima?
?Benarkah Ibu Lurah?
Rara Winihan mengganguk mantap. Pernyataan Rara Winihan bagaikan surya yg tiba-tiba ada memecah mendung kelabu. Wajah Resi Hijrapa berseri. Secercah asa baru menyembul dari sanubarinya. Dengan tergopoh-gopoh, Resi Hijrapa berjalan menuju ruang depan, tempat Kunthi dan anak-anaknya menumpang. Rara Winihan, Lurah Sagotra dan Raden Rawan mengikutinya.
Sesampainya di depan Kunthi, Resi Hijrapa bersimpuh & menghaturkan sembah di depan kaki Kunthi, buat memohon pertolongan.
?Ibu Prameswari maafkan hamba si tua bangka yg terbelakang ini, jauhkan dari tulah sarik, berdasarkan kutuk & berdasarkan sanksi, lantaran kesalahan hamba. Hamba telah memperlakukan Ibu Prameswari dan para pewaris tahta Hastinapura menggunakan sangat nir layak.?
?Bapa Resi janganlah merendahkan & menghinakan dirimu sendiri, duduklah, & bicaralah menggunakan wajar, katakanlah apa yg engkau inginkan menurut kami.?
?Dhuh Ibu Prameswari, ampunilah kesalahanku, karena penyambutanku pada tempat tinggal ini nir sinkron denga kedudukan Sang Ibu Kunthi bersama para putra.?
?Sudahlah Bapa Resi. Bapa Resi nir bersalah. Kamilah yang sudah membuat repot Bapa resi dan famili. Namun bukankah ada sesuatu yang lebih penting berdasarkan semuanya itu. Katakanlah Bapa Resi?
Karena kehalusan budi & kerendah hati & belas-kasih Sang Ibu Kunthi, Resi Hijrapa memberanikan diri buat menceritakan masalah berat yg dihadapi oleh keluarganya dan lalu memohon pertologannya. Dewi Kunthi yg sudah mendengar & mengetahui semuanya, bahkan telah berembug kasus ini dengan Bima anaknya, menyarankan kepada Resi Hijrapa supaya eksklusif meminta bantuan kepada anaknya yang nomor 2 yg bernama Bimasena. Lantaran dialah orangnya yang tepat buat melakukan pertolongan ini.
Bima merupakan sosok yang sederhana dan jujur, ia selalu siap menaruh pertolongan kepada siapapun yg membutuhkan, apalagi bila yang bersangkutan datang memohon eksklusif kepada dirinya, maka akan semakin mantaplah ia melakukan pertolongan. Ketika ditemui Resi Hijrapa, Bima bersedia dikorbankan menjadi ganti Rawan anaknya. Resi Hijrapa sangat lega, terbebas menurut beban berat yang menindihnya.
Sesaat sehabis Bima menyanggupkan diri sebagai sesaji yg akan dipersembahkan pada Prabu Dwaka, tiba serombongan perajurit Ekacakra menggunakan jumlah yang lebih poly berdasarkan jumlah perajurit yg kemarin lusa mencegat para pengungsi. Mereka melacak eksistensi seseorang tinggi perkasa yg sudah menolong para pengungsi & mengalahkannya. Ketika kemudian mereka menemukan orang yg dimaksud yaitu Bima di tempat tinggal Resi Hijrapa, maka kemudian mereka datang menggunakan maksud menawan Bima. Bima dengan dibantu oleh Harjuna bermaksud melawannya.
Tetapi sebelum peperangan terjadi Lurah Sagotrra didampingi Rara Winihan menyerukan kepada pemimpin perajurit Ekacakra, supaya mau bersabar. Kecerdasan Rara Winihan berhasil mempengaruhui pimpinan perajurit buat membatalkan niatnya nenangkap Bima. Dengan alasan bahwa Bima sudah menyanggupkan diri sebagai korban buat Prabu Dwaka.
?Di tempat tinggal ini segala sesuatunya sudah disiapkan. Jika pimpinan perajurit mau menangkap Raden Bima & Raden Bima melawan, maka akan terjadi pertempuran. Apabila pertempuran terjadi pada rumah ini maka semuanya yang ada bakal rusak dan hancur. Termasuk jua ubarampe sesaji yg sudah dipersiapkan. Apabila hal ini sahih-sahih terjadi, ialah para perajurit sudah menghancurkan persiapan sesaji yang akan dipersembahkan kepada raja, termasuk calon korbannya yaitu Raden Bimasena. Apabila pemimpin perajurit akan nekat memaksakan kehendak, saya menjadi lurah di daerah ini akan menghadap raja dan menghaturkan bahwa calon sesaji yang telah dipersiapan dirusak oleh perajurit Ekacakra sendiri.?
Mendengar seruan Ibu Lurah yg lantang tadi, pemimpin perajurit tanpa berucap sepatah kata pun membalikan kudanya bersama menggunakan pasukannya meninggalkan tempat tinggal Resi Hijrapa. Mereka takut jika tindakannya menangkap orang tinggi perkasa dipercaya mengacaukan persiapan korban terbesar sepanjang tahun yang akan diadakan besok lusa.
Kabar kesanggupan Bima mau menjadi korban santapan menggantikan Rawan cepat beredar di Desa Sendangkandayakan dan pertapaan Giripurwa. Mereka berdatangan pada rumah Resi Hijrapa. Ketika ditemuinya terdapat Lurah Sagotra & Rara Winihan, semakin mantaplah mereka bergabung.
Ketika datang saatnya, hari Anggara Jenar yg jatuh dalam bulan pertama pada setiap tahunnya, Resi Hijrapa telah siap menggunakan sesajinya. Rara Winihan berperan akbar dalam pembuatan sesaji. Ia sudah menutupi badan Bima dengan parutan kelapa belia yg dimasak bothok.
Pagi itu mereka membawa sesaji komplit meninggalkan Rumah Resi Hijrapa, menuju keraton Ekacakra. Selain Bima sendiri, yg mengiringi sesaji berdasarkan Giripurwa merupakan : Harjuna, Rawan, Rara Winihan, Lurah Sagotra, Resi Hijrapa, warga Sendangkandayakan dan Giripurwa. Dengan eksistensi Bima diantara mereka, mereka tidak takut, lantaran mereka percaya menggunakan nama besar Pandhawa Lima dan sebagian berdasarkan mereka sudah melihat kesaktian Bima saat menolong para pengungsi.
Sesampainya di balairung keraton Ekacakra, sesaji berdasarkan Giripuwa yang berupa Bima dibumbu bothok menarik perhatian poly orang termasuk Sang Prabu Dwaka, karena sosok Bima yg tinggi besar sepadan dengan Prabu Dwaka.
Setelah segalanya siap, upacara sesaji dimulai menggunakan pemukulan gong beri 3 kali. Selesai gaung gong yg ketiga, mereka mulai melakukan pembakaran berbagai daging dan ikan secara serentak. Di tengah-tengah membumbungnya asap bakaran, Prabu Baka berjalan keliling sebelum mendekati korban mausia yaitu Bima Bothok. Baru setalah langkahnya tertuju pada Bima Bothok, perutnya mulai keroncongan, & air liurnya mengumpul di ujung lidahnya.
Sitihinggil Ekacakra penuh dengan asap korban bakaran. Prabu Dwaka mulai merasa lapar mencium bau asap berdasarkan daging yg dibakar. Terlebih saat melihat Bima yg diberi bumbu bothok, beliau mengarahkan langkah & pandangannya menuju korban yg pada sajikan menurut Giripurwa. Selangkah demi selangkah kaki yg akbar & berat itu menginjak bumi, & menyebabkan getar disekitarnya. Bimasena, Arjuna, Lurah Sagotra, Rara Winihan, Rawan dan para pengiring mulai menaikkan kewaspadaan. Kecuali Bima & Arjuna, jantung mereka berdetak semakin cepat merasakan getar tanah yang disebabkan sang langkah Prabu Dwaka, hawa dingin mulai mengalir menurut ujung kaki dan telapak tangan mereka.
Prabu Dwaka semakin tidak kuasa menahan lapar, melihat sosok Bima yg berbadan tinggi besar , berotot kuat dan kencang, berlumuran bumbu bothok kesukaannya. Lantaran tertariknya dengan sosok Bima, Prabu Dwaka tidak memperhatikan rangkaian korban yg lain yg telah disiapkan oleh Rara Winihan pada pada sebuah gerobak. Tangan Prabu Dwaka yg akbar bertenaga, penuh menggunakan bulu, mendulit bumbu bothok di tubuh Bima.
?Hmm enaaak?
Bima nir gentar menghadapi Prabu Dwaka. Sejak ia sanggup menjadi korban buat menggantikan Rawan, ia sudah siap lahir batin. Ditatapnya Prabu Dwaka dihadapannya menggunakan ketajaman mata laksana burung hantu. Otot tubuh yang menjadi daya kekuatan Bimasena mulai dikencangkan.
Prabu Dwaka nir sabar, dengat cepat dia menyahut Bima. Apabila dalam korban sebelumnya, baik yang bulanan maupun yg tahunan, korban hanya dapat menjerit dan lalu diam, kali ini nir terdapat jeritan. Bima sanggup menepis tangan Prabu Dwaka dengan kekuatan yg lebih besar . Prabu Dwaka terkejut bukan kepalang, merasakan kekuatan besar yg keluar berdasarkan calon koorbannya. Ulah Bima yang belum pernah dilakukan oleh para korban sebelumnya, justru meningkatkan kesukaan Prabu Dwaka. Ia menggunakan tawa sinisnya mengelilingi Bima, ingin mempermainkan calon korbannya sebelum disantapnya.
Namun yang apa yg terjadi sungguh mengejutkan, terutama bagi Prabu Dwaka. Bima dengan cepat dan datang-tiba melayangkan kakinya ke dada Prabu Dwaka. Prabu Dwaka senggoyoran hampir jatuh. Ia baru sadar, bahwa korban yang tersaji kali ini bukan orang asal-asalan. Prabu Dwaka menatapnya Bima menggunakan kemarahan puncak . Bima tidak mau kalah, beliau balas menatapnya sembari berdiri teguh, seteguh batu karang. Dengan menghimpun kekuatan, Prabu Dwaka menerkam Bima. Kali ini Bima menghindar. Prabu Dwaka semakin murka . Dan sebentar kemudian terjadilah pertepuran yg dahsyat. Dikarenakan keduanya tidak merasa leluasa bertempur di pelataran sitihinggil, maka tanpa konvensi pertempuran bergeser keluar menurut sitihinggil menuju ke alun-alun.
Korban besar tahunan sebagai rancu. Para pelaku korban, petugas jaga, para perajurit dan pengawal raja, menghentikan aktifitasnya. Mereka bersama-sama menyaksikan pertepuran langka. Bahkan orang-orang mulai berdatangan ke alun-alun untuk menyaksikan pertempuran dahsyat sepanjang abad.
Para pajurit yg setia pada raja, ikut geram pada Bimasena. Namun dibalik kegeramannya, mereka mengakui keberanian Bima buat melawan raja mereka. Lantaran selama mereka mengabdi pada Prabu Dwaka, belum pernah ia menjumpai seseorang yang berani pada raja mereka. Barulah sekarang buat yg pertamakali beliau menyaksikan terdapat orang yang berani melawan raja mereka menggunakan nir menampakkan ketakutannya.
Walaupun diantara mereka pernah menyaksikan dan merasakan kesaktian Bima waktu menolong para pengungsi, mereka semakin tergetar keberaniannya menyaksikan kehebatan Bima saat melawan Prabu Dwaka.
Sementara itu, bagi mereka, baik para perajurit atau kawula Ekacakra yg selama ini nir bahagia dengan raja mereka, sangat berharap supaya Bima berhasil memenangkan pertempuran.
Hari semakin siang, surya sudah hampir berada pada tengah. Pertempuran berlangsung semakin seru. Keduanya saling mengeluarkan ilmu-ilmu andalan. Debu mengepul, mengelilingi & menutupi Prabu Dwaka & Bimasena. Para penonton nir bisa lagi melihat keduanya menggunakan jelas. Tetapi melalui bunyi yg disebabkan mereka dapat empati bahwa pertempuran tadi semakin dahsyat. Oleh karena itu para penonton semakin mundur dengan perasaan cemas, sebagai akibatnya tempat bertempur pun sebagai semakin luas.
Beberapa saat kemudian, debu yang membumbung perlahan-huma pergi dibawa angin. Dari kejauhan, tampaklah Bimasena & Prabu Dwaka berdiri berhadapan. Rupanya mereka putusan bulat untuk beristirahat sejenak sembari mengatur napas mereka masing-masing. Tidak beberapa usang kemudian, pertempuran dilanjutkan kembali.
Prabu Dwaka yang lapar karena belum berhasil menyantap korban, bertempur menggunakan membabi buta. Ia ingin segera mengakhiri pertempuran. Tetapi lawannya bukanlah orang sembarangan, beliau mempunyai ilmu taraf tinggi yg sporadis terdapat tandingannya. Oleh karenanya, Prabu Dwaka menjadi frustasi karena tidak dapat segera mengalahkan Bimasena. Sebaliknya, Bimasena sebagai semakin tenang & mantap. Sehingga dengan demikian ia bisa menggunakan jelas melihat kelemahan daya pertahanan lawannya. Pusaka Kuku Pancanaka andalan Bimasena sudah disiapkan. Dan pada ketika yang tepat, Bimasena berhasil menyarangkan Kuku Pancanaka ke dada Prabu Dwaka.
Terdengar bunyi teriakan menggelegar dan disusul menggunakan robohnya tubuh Prabu Dwaka yg tinggi besar . Sorak membahana gemuruh menyambut kemenangan Bimasena. Beberapa pengawal yg setia Raja mengarahkan mata tombaknya ke dada Bimasena, namun sebelum Bimasena luka, Arjuna menggunakan tangkas menarik busur & melepaskan anak panahnya pada jumlah banyak. Maka berjatuhanlah mereka. Pengawal yg lain tergetar hatinya, melihat kesaktian Arjuna dalam memananh.. Mereka mengurungkan niatnya membela rajanya, & meyerah dihadapan Bimasena.
Setelah dipastikan bahwa Prabu Dwaka sudah gugur, para kawula Ekacakra memohon agar badan Prabu Dwaka yg telah nir bernyawa dipisahkan, yang satu ditanam pada gunung gamping barat yg satu ditanam pada gunung gamping Timur. Menurut kepercayaan , hal tersebut dimaksudkan buat menghilangkan tenaga negatif yang akan disebabkan sang raga Prabu Dwaka.
Pada puncak korban tahunan kali ini, nir ada lagi kawula yg dikorbankan, melainkan Prabu Dwaka sendiri dan beberapa pengawalnya yang sebagai korban.
Prabu Baka atau Prabu Dwaka yang menjadi sumber ketakutan kawula Ekacakra telah dihancurkan oleh Bimasena. Para pejabat, pengawal perajurit dan pengikut yang selama ini berada di lingkaran pusat kekuasaan merasa terancam keberadaannya. Pengawal raja lapis pertama yang mengandalkan insting jika rajanya ada dalam bahaya dengan cepat menyerang Bima yang telah mencelakai tuannya, namun dengan cepat pula dilumpuhkan oleh panah Arjuna.
Walaupun tenaganya belum pulih, setelah mengalahkan Prabu Dwaka, Bima sendiri juga sudah bersiaga buat menghadapi para pengawal dan pengikut Prabu Dwaka yang nir terima akan kematian Rajanya. Tetapi tidak terdapat lagi yg menyerang Bima setelah serangan pengawal lapis pertama gagal total. Mereka keder jua menyaksikan kesaktian Bima yg menggetarkan.
Ditambah lagi bahwa rombongan pembawa korban dari Giripurwa masih ada orang sakti selain Bima, yg ahli menggunakan senjata panah. Kesaktiannya dalam memanah sudah ditunjukkan waktu membendung agresi para pengawal raja lapis pertama yang hendak mengeroyok Bimasena. Orang sakti tersebut merupakan adik Bimasena yg bernama Arjuna. Ia memang sengaja mennunjukan kesaktiannya supaya yang lain jera, sehingga dengan demikian akan mengurangi korban.
Kesaktian memanah yang ditunjukan Arjuna menggunakan melumpuhkan puluhan korban pada saat sekejab merupakan ilmu terbaik Sokalima. Ditambah jua dengan pusaka ali-ali ampal dari Prabu Ekalaya raja Paranggelung, menciptakan ilmu memanah Arjuna tidak tertandingi. Maka jika pun pengawal lapis dua berniat melawan Bima dan Arjuna dapat dipastikan nasibnya akan sama misalnya pengawal lapis pertama yg pada sekejap roboh bersamaan.
Untung saja gebrakan awal Arjuna berhasil menciptakan nyali para pengawal raja menciut, sebagai akibatnya mereka mengurungkan niatnya buat melawan Bima dan Arjuna. Lantaran sudah nir punya nyali buat melawan, para pejabat, pengawal dan pengikut setia Prabu Dwaka sekarang sudah nir setia lagi, mereka meletakan senjata dan menyerah.
Sorak sorai membahana. Kawula Ekacakra merayakan kemenangan. Korban bakaran yang sedianya diperuntukan buat kehormatan & kekuasaan raja sebagai korban sukacita dan pesta kemenangan warga Ekacakra. Bimasena dielu-elukannya dan pula Arjuna. Hal yg lebih membanggakan dirasakan sang rombongan korban berdasarkan Giripurwa. Karena berawal dari Bima yang hadir pada daerahnya dan bersedia menjadi silih korban menggantikan Rawan, akhirnya bisa menumbangkan angkaramurka dan menanamkan ketamakan Prabu Baka pada gunung Gamping yang beku.
Gugurnya Prabu Baka menciptakan keadaan negeri Ekacakra secara keseluruhan berbalik 180 derajat. Jika sebelumnya rasa takut & suasana mencekam melanda setiap hati kawula Ekacakra, kini setelah Prabu Baka gugur, suasana berubah sebagai sukacita dan tanggal bebas menurut takut dan cemas. Seluruh masyarakat sebagai tenteram karenanya.
Dengan perubahan itu, beberapa bebahu desa Kabayakan teringat akan istilah-kata Rara Winihan yg menaruh pengharapan, bahwa tidak lama lagi desa Kabayakan akan terbebas dari rasa cemas takut. Bahkan Desa ini akan mendapat pemberian yg begitu akbar.
Tanda akan datangnya anugerah besar itu pada sampaikan oleh Hyang Widi Wasa lewat mimpinya. Pada dini hari tadi, Rara Winihan bermimpi sedang melakukan bepergian ke dusun-dusun, beserta Ki Lurah Sagotra, Para Bebahu, dan beberapa orang yg dituakan. Sesampainya pada setiap dusun yang mereka kunjungi, para rakyat mengelu-elukan rombongan Lurah Sagotra. Suasana kunjungan tersebut mirip sebuah bepergian pesiar. Diakhir perjalanannya, rombongan Lurah Sagotra memasuki jalur sungai. Keanehan terjadi, mereka berjalan di atas sungai & kakinya tidak menyentuh air.
Dan benarlah, makna yg terselubung pada mimpi, bahwa jika orang yg bermimpi berjalan di atas air, akan menerima kabegjan pemberian yang luar biasa. Kini mimpi Rara Wunihan sudah sebagai kenyataan.
Selain Bima dan Arjuna nama Rara Winihan menjadi semakin berkibar. Banyak kawula Giripurwa menginginkan Ibu Lurah tadi menempati jabatan yang lebih tinggi lagi. Tetapi Rara Winihan menolaknya. Ia justru menjadi membuat malu, karena sesungguhnya ia hanyalah seseorang yang tidak berarti dibandingkan dengan Bimasena dan Arjuna, atau dengan Ibu Kunthi. Ia hanyalah istreri Lurah Sagotra, Kanca Wingking yg seharusnya hanya berada pada daerah belakang.
Ambisi para bebahu yg ingin mengangkat dirinya menduduki jabatan yg lebih tinggi, justru sudah menyadarkan dirinya, bahwa langkah yang dia jalankan selama ini telah kemajon, atau terlalu ke depan dibandingkan dengan kiprah yg seharusnya dia jalani, yaitu menjadi isteri Lurah, tidak lebih.
Pada keesok harinya ketika semuanya berkumpul di Rumah Resi Hijrapa, tidak satupun rasa takut menyusup di hati dan pikiran mereka. Sehingga yang nampak adalah wajah-paras ceria yang terbebas berdasarkan kecemasan. Dalam kesempatan tadi, Resi Hijrapa, Rawan, Lurah Sagotra dan Rara Winihan mengucapkan terimakasih yg tak terhingga kepada Ibu Kunthi, Bimasena & Arjuna. Selain itu Resi Hijrapa dan lalu diikuti sang Rawan, Ki Lurah Sagotra & Rara Winihan menyatakan diri, apabila kelak terjadi perang besar antara Pandhawa dan Korawa yang diklaim Bharatayudha mereka siap membantu Pandhawa menjadi tawur awal pada perang tadi. Kunthi dan Pandhawa sangat terharu mencicipi ketulusan yang dinyatakan mereka buat siap berkorban bagi Pandhawa.
Sepeninggal Prabu Dwaka, kerajaan Ekacakra komplang, tanpa raja. Untuk sementara sebelum hingga pada orang yg paling berhak menduduki tahta, kebijaksanaan kerajaan dipasrahkan pada Prabu Durpada yg memerintah pada negara Pancala. Lantaran wilayah Ekacakra bergandengan dengan wilayah Pancala.
Herjaka HS